Indonesia ragaku
[SURAT DARI INDONESIA 2045]
Kawan muda yang baik,
Perkenalkan aku Indonesia 2045.
Bagaimana kabarmu? Aku dengar kalian sering marah-marah dengan presiden kalian
hari ini. Kenapa dengan dia? Ceritakan padaku. Hmm, senior kalian dulu mungkin
akan ditangkap intel kalau marah-marah dengan presiden.
Sekarang kalian bebas ya?
Disituasi bebas bolehkah kalian ceritakan apa yang sudah kalian perjuangkan?
Bolehkah kalian cerita soal gagasan-gagasan tentang Indonesia? Aku sungguh
penasaran, kalian pasti lebih dari Soekarno, Hatta, Semaun, atau Natsir muda
kan?
Di masa tak ada sosial media yang
memudahkan kalian berjejaring, mereka bisa berkumpul dan berjuang ke masyarakat
loh. Ah untuk apa aku ceritakan, handphone kamu pasti lebih banyak informasi
perihal mereka.
Tuhkan pasti kalian lebih dari
mereka? Soalnya ketika aku ketik “pemuda Indonesia hari ini” yang keluar selalu
seks bebas, tawuran, kehidupan malam, cinta-cintaan dan lain-lain. Ceritakan
padaku apa persiapan kalian ketika memimpinku? Jangan malu, sampai jarang aku
temukan cerita masa muda kalian dengan diriku di mesin google.
Aku dengar para mahasiswa sedang
bingung menentukan arah pergerakan. Sebagian tak suka demo, lalu kau bilang ia
apatis. Sebagian lagi nyinyir kalau kalian terlalu beromantika dengan masa
lalu. Memang gerakan seperti apa yang kalian cari? Ada yang bilang juga kalau
gerakan kalian cari-cari eksistensi kelompok. Kok kalian jarang ngobrol atau
jangan-jangan memang bermusuhan?
Aku dengar sedang terjadi
bencana. Bagiku justru itu ada baiknya. Toh timeline media sosial kalian jadi
sesak dengan tagar kabut asap daripada official akun percintaan yang quotes-nya
‘ngena’ banget sama kisah percintaan kalian. Aku dengar kalian sedang
nyaman-nyamanya dengan hidup kalian. Permainan apa di-gadget kalian yang lagi
digandrungi kalangan muda? Followers media sosial kalian sudah berapa banyak?
Hari ini sudah update apa aja? Di mana? Sama siapa? Seru banget ya!
Sekarang, bolehkah kalian
dengarkan aku? Usiaku sudah 100 tahun, usia kalian nanti kira-kira 40 – 50
tahun dan akan memimpinku. Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya
Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty menerangkan
bahwa kita bisa lihat apakah negara gagal atau tidak diusia dekade 90-100
tahun.
Aku di sini sangat ketakutan.
Makanya aku buru-buru menulis surat ini sebagai peringatan untuk kalian, akan
dibawa ke mana aku ini? Gagal atau jaya? Sebab hampir jarang aku mendengar
kalian berbicara soal aku. Kalian sibuk dengan masa depan kalian masing-masing,
padahal masa depan kalian ada pada bagiamana aku.
Aku sempat bersyukur bahwa jumlah
kalian nanti akan jauh lebih banyak daripada usia tua. Di situ aku sempat lega
karena banyak yang akan mengurusku nanti. Tetapi aku tak pernah bertanya
kira-kira yang akan mengurusku nanti manusia yang seperti apa?
Sebab aku cukup kecewa dengan
kebanyakan senior kalian hari ini. Semua berada di garda terdepan jika bela
negara, tetapi kalau sudah merugikan pribadi atau kelompok nyalinya kendor. Hal
ini diperparah dengan kasus korupsi disegala lini, lemahnya kepastian hukum,
tumpang tindih antar kepentingan institusi, dan pemimpin-pemimpin politik pun
hadir kalau punya bandar. Aku berharap kalian menjadi obat pilu Indonesia ke
depan.
Kalau kalian semakin acuh, nangis
aku ketakutan. Daron dan Robinson seperti menamparku. Ia bilang negara yang kelembagaan
ekonomi-politiknya bersifat ekstraktif yakni dijalankan oleh segelintir elit
yang menguras sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri dan hanya
menyisakan sedikit hasil untuk kepentingan rakyat, tinggal menunggu waktu untuk
terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara
gagal.
Aku berpesan dengan Indonesia
2015-an, bagaimana calon-calon pemimpinku? Sudah siapkah mereka dengan situasi
ini? Lalu ia menjawab, tinggalah mereka menentukan mau ke mana arahnya, sebab
sampai pada tataran institusi pendidikan pun disulap bak perusahaan.
Produknya mahasiswa yang
bagaiamana caranya bisa laku dibeli pasar. Boro-boro memikirkan aku katanya,
mereka juga ketakutan, apakah mereka laku dibeli pasar? Ia kadang prihatin, katanya
kalian sedang bingung dengan skripsi yang tak kunjung rampung dan gundah
kalau-kalau tak mampu mencari nafkah.
Aku jadi serba salah menuntut
kalian yang macam-macam, jangankan menoleh kepadaku, untuk menatap ke depan
saja kalian masih bingung.
Tapi kok tidak sesuai dengan
kehidupan kalian. Yang kaya makin tinggi diri dengan mengkonsumsi brand terkini
agar dibilang trendy, yang miskin malah terlihat sok kaya. Kalian katanya suka
sekali hura-hura padahal sebelumnya menghujat pemerintah karena rupiah anjlok,
itupun juga tahu dari headline berita.
Sebab kalian lebih suka membaca
cerita-cerita dramatis di account official padahal tak tahu sumber beritanya.
Kalian juga ingin daerahnya berubah, tetapi milih pemimpin masih ‘cap cip cup’.
Kalau ada hari nasional seperti hari sumpah pemuda misalnya, buru-buru update
quotes agar terlihat peduli.
Apa betul gelar agen perubahan
itu hanya sampai diujung bibir, tak ada langkah nyata. Kalian juga begitu suka
sekali caci maki sana-sini. Semua cela hampir diprotes.
Ada lagi tipe kumpulan pemuda
yang buat aku bangga karena kontribusinya untuk Indonesia. Tapi kok kalian suka
sekali merendahkan kumpulan lain. Organisasi belum terkenal, dikira tak
se-level. Minta kerjasama sulitnya bukan main. Katanya kalian menunjunjung sinergitas?
Tapi kok kontribusinya berjalan sendiri-sendiri. Atau memang orientasinya
popularitas bukan sinergitas?
Sebegitunya kah kalian? Aku tak
ingin kalian dicap menjadi generasi wacana, generasi marah-marah, generasi kaya
kritik namun miskin solusi. Karena kalian dilahirkan oleh revolusi nasional
yang berhasil menghalau imperialisme disusul perjuangan menuntaskan revolusi.
Mulai dari sekarang, ketika
kalian selesai membaca surat ini renungkan dan tanyakan pada diri kalian, mau
jadi seperti apa kalian nanti? Mau republik seperti apa yang ingin kamu
wariskan?
Kawan muda yang baik, calon-calon
pemimpinku. Maaf bila kiranya aku menjadi beban kalian. Surat ini aku tulis
semata-mata bukan ingin mengganggu kenyamanan kalian. Aku menulis surat ini
bukan untuk ambisi-ku pribadi, tetapi ini soal kita, Indonesia.
Ini soal masa depan kalian akan
jadi seperti apa, agar anak-anak kalian bisa sekolah tinggi, orangtua kalian
meninggal dengan bangga karena kesuksesan anaknya, istri kalian tidak akan
merongrong karena harga bahan pokok sangat mahal, atau suami kalian tidak akan
frustasi karena sulitnya mendapat pekerjaan.
Kalian tidak perlu membalas surat
ini. Balas saja dengan tindakan. Aku di sini tinggal meneropong dari kejauhan,
mengamati gerakan kalian setelahnya. Jikalau memang aku, Indonesia tahun 2045
gagal, setidaknya jadikan bahan pelajaran untuk anak-anak kalian agar tidak
seperti kalian.
Namun sebaliknya, jika Indonesia
tahun 2045 jaya, kalian boleh berbangga, bahwa di era ini kalian tidak tinggal
diam, kalian ikut mewariskan Republik yang semakin tegak berdirinya kepada anak
dan cucu kalian.
Ditulis oleh : Renaldy Akbar
(Co-Founder and Presiden Indonesian Youth Projects)
Komentar
Posting Komentar